Thursday, October 23, 2014

Jejak Chik di Tiro di Willem Toren

Menara Williem Toren menyimpan jejak perjuangan Teungku Chik di Tiro, Panglima Perang Aceh yang mengobarkan Perang Sabil.


Willem's Toren 1875 Gesticht in oorlogstijd Den vrede gewyd Tevens een blijvende eerezuil voor al de dapperen en braven, die ter bereiking van dit doel des vredes hun bloed en leven ten offer gaven (Menara Willem 1875 Didirikan pada masa perang Sebuah kenangan abadi untuk setiap keberanian dan para pemberani, untuk mencapai tujuan damai ini darah dan nyawa telah dikorbankan).

Ditulis pada sebuah plakat besi, tulisan dalam bahasa Belanda itu menempel di menara pada ketinggian sekitar lima meter dari permukaan tanah. Posisinya tepat di atas pintu masuk mercusuar yang dikenal dengan nama Willem III  Toren.

Kami menapak kaki di bawah menara itu ketika hari telah bergerak senja, awal Januari lalu. Menjulang gagah sekitar 80 meter ke arah langit, mercusuar bundar itu dicat putih dan merah. Ketebalan dindingnya mencapai satu meter.

Berdiri di utara Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Aceh Besar, menara itu kini dikelilingi hutan lebat pada sayap gunung yang menjorok ke Samudera Hindia. Di kakinya, bangunan lain berupa rumah-rumah berjejer membentuk garis lurus mengarah ke hutan. Dahulunya kawasan itu merupakan pangkalan militer, Korps Marinir Belanda.

Kami bergerak mencapai puncak mercusuar dan mulai menaiki ratusan anak tangga yang melingkar dari lantai dasar hingga lantai terakhir di puncak. Setiap akhir deretan anak tangga melingkar yang terbuat dari besi diselingi sebuah ruang berlantai papan kayu yang masih asli, seperti ketika ditinggal serdadu Belanda. Pada setiap ruang kami juga menyaksikan sebuah jendela dengan posisi menghadap laut lepas.

Pada puncak tertinggi bangunan mercusuar terdapat sebuah ruang berdinding kaca tebal. Di dalamnya sebuah lampu dengan ukuran lebih besar daripada talam. Lampu tebal itulah yang mengirim cahaya terang hingga ke perairan internasional Samudera Hindia. Sumber energinya berasal dari mesin diesel di ruang mesin di bawah mercusuar. Tepat pukul 18.30 WIB mesin dihidupkan dan lampu mercusuar itu menyala terang sambil berputar. Namun itu kenangan dulu. Sekarang lampu besar itu hanya tinggal fosil dan tak lagi berfungsi. Sebagai pengganti, dipasang lampu dengan bentuk serupa, tetapi ukurannya lebih kecil.

Sementara itu, pada puncak mercusuar, di bawah ruangan kaca,  juga dibuat lantai yang melingkar mengikuti bentuk bundar bangunan mercusuar. Lantai dipagari jeruji besi setinggi 1.5 meter. Barangkali itulah lokasi terindah dari bangunan mercusuar.

Di lantai bundar itu hembusan angin menerpa wajah dan menyibak rambut kami. Dari ketinggian itu tampak jelas laut biru bergelombang. Di arah barat, Pulau Sabang bagai mengapung di atas gelombang. Pada arah yang hampir sama juga samar terlihat ujung Pulau Sumatera, yaitu sekitar kawasan Ujong Batèe. Sementara beberapa pulau batu berukuran kecil terlihat seperti mengapung diseret ombak di pinggir pulau di sekitar mercusuar. Di arah barat daya, Pulau Rondo seperti berusaha muncul dari balik Samudera yang membenamnya. Tampak samar sekali.

Menoleh ke belakang, ke arah hutan, terlihat deretan bangunan tua berada di dasar kaki mercusuar. Bangunan itu lurus menjalar hingga rumah jenderal di puncak itu.

Pada perjalanan tahun 2012, saya sempat bermalam di puncak mercusuar itu. Suasana indah di malam hari memang memunculkan kesan tersendiri. Menikmati kopi di puncak sambil meresap dingin angin malam sungguh seperti sebuah rayuan kepada mata untuk terus terjaga. Nun di laut lepas, kapal berukuran besar dengan pendar cahaya terang tampak berlalu. Perahu kecil milik nelayan juga bertabur di seantero laut di kawasan itu.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh mencatat, ketinggian menara Willem Toren mencapai 85 meter, pada areal seluas 20 hektare. Penamaan Willem’s Toren untuk menara itu mengadopsi nama Raja Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk, penguasa Luxemburg  ketika itu. Konon bangunan mercusuar juga dibuat sebagai penghormatan kepada raja karena giat membangun infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Aceh.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh juga menyebutkan, Belanda membangun mercusuar  untuk menyiapkan Pulo Weh (Sabang) sebagai pelabuhan transit Selat Malaka karena serikat dagang Hindia Belanda,  VOC,  telah berdiri. “Infrastruktur pelabuhan dan sarana navigasi jadi kebutuhan dasar saat itu dan Belanda bercita-cita ingin membuat pelabuhan transit Sabang seperti Singapura.”

Kabarnya, di dunia  hanya terdapat tiga mercusuar yang dibangun Raja Willem ketika itu, yaitu di Aceh, Kepulauan Karibia, dan di Belanda.  Hanya mercusuar di Aceh dan Kepulauan Karibia yang masih berfungsi, sementara mercusuar di Belanda telah berubah fungsi menjadi museum.

“Tim BPCB Aceh dalam survei maritim tahun 2012 mendata aset–aset tinggalan sejarah dan tinggalan purbakala termasuk mercusuar yang masih baik kondisinya dan dijaga petugas dari Departemen Perhubungan Laut Distrik Navigasi II Sabang untuk  memastikan mercusuar tetap berfungsi dengan baik  karena arus laut kencang di Selat Malaka juga banyaknya karang bawah permukaan  air  antara Sabang dan Pulo Aceh, mercusuar ini merupakan  alat pandu paling vital perjalanan laut.”
***
Berdiri di puncak mercusuar, kami seperti terlempar ke bulan November 1887, berselang 16 tahun setelah menara itu berdiri. Ketika itu, para opsir Belanda melewati malam dengan jantung berdegup. Lengah sedikit saja, alamat menjadi santapan senjata para pejuang Aceh yang sewaktu-waktu muncul bagai siluman dari balik hutan lebat. Begitulah kesaksian Mayor Jenderal G.F.W Borel dalam bukunya Onze Vestiging in Atjeh.

Sejak dibangun pada 1874, entah berapa kali para pejuang Aceh di bawah pimpinan Teungku Chik di Tiro menyerbu Pulau Breueh. Belanda menyebutnya Pulo Bras.
Catatan serupa juga muncul dalam buku Teungku Thjik di Tiro; Hidup dan Perdjuangannja yang ditulis Ismail Jacob 1960.
Teungku Syik di Tiro melakukan penyerangan baru dari Lampager ke Pulau Beras pada malam 9 jalan 10 November tahun 1887. Ke Kuala Pantjar datang pula serangan dari Teungku Chik di Tiro, kompeni terpaksa memakai meriam, tetapi dalam catatan kompani, barisan Tengku Chik di Tiro dapat merusakkan 40 rumah, perahu dan 4 meriam besar,” tulis Ismail Jacob.

Sejarah mencatat, Teungku Chik di Tiro adalah ulama besar sekaligus panglima perang yang memimpin pasukan Aceh melawan Belanda pada kurun waktu 1881 hingga 1891. 
Lahir pada 1836 dengan nama asli Muhammad Saman, Chik di Tiro mengobarkan semangat Perang Sabil bersama Teungku Chik Pante Kulu. Datang dari Tiro, Pidie, ia menjadikan Meureu, Indrapuri, Aceh Besar, sebagai benteng pertahanan. Untuk menaikkan semangat pejuang, ia memperkenalkan semboyan mati syahid untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh.

Kedatangan pasukan Aceh tercium pasukan Belanda. Dua hari berselang, pada 12 November, Belanda menambah pasukan. Sekitar 300 prajurit dari Batalyon Infanteri 14 Koetaraja dikirim ke Pulo Breueh. Dipimpin Mayor JWStemfoort, bala bantuan diperkuat dengan kapal uap Zr.Ms. Merapi , Zr.Ms. Banda, dan Zr.Ms. Bali. Sehari kemudian, tiba lagi 150 pasukan yang dibekali amunisi lengkap.

Pada 14 November, operasi besar dilakukan di Pulo Breuh. Hasilnya, Belanda mendeteksi keberadaan sekitar 300 pasukan Aceh di kawasan Lampuyang, beberapa kilometer dari mercusuar. Mereka sedang mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang pangkalan marinir dan kawasan mercusuar.

Besoknya, perang pecah. Pasukan Aceh keluar dari Lampuyang dan bergerak menyerang pasukan Belanda. Belanda melancarkan serangan balasan pada malam hari. Oleh Belanda, serangan balasan itu disebut sebagai hukuman bagi pasukan Aceh.

Tepat pukul 12 malam, pasukan Belanda bergerak mengepung Lampuyang. Dari darat, 540 perwira dan prajurit bersenjata lengkap merapat ke Lampuyang. Sementara dari laut, tiga kapal uap, yaitu, Zr.Ms. Merapi , Zr.Ms. Banda, dan Zr.Ms. Bali ikut mengepung dengan moncong meriam siap ditembakkan.

Dalam dokumen yang dirilis Belanda digambarkan betapa gempuran malam itu menjadikan suasana Lampuyang terang-benderang. Dentum senjata bersahutan sepanjang malam, diselingi ledakan mortir yang ditembakkan dari kapal, dan itu menjadi pukulan berat bagi pasukan Aceh. Ledakan mortir itu ditulis Belanda sebagai sebuah tembakan yang ‘indah’ lantaran hutan di sekitar Lampuyang menjadi terang dan kapal berguncang hebat.

Di atas ombak yang digambarkan sangat besar, sepanjang malam itu kapal terus meraung di sekitar pantai dengan menghujam tembakan ke Lampuyang. Bagaimanapun, pertahanan gerilya pasukan Aceh membuat pertempuran berlangsung dari tengah malam itu sampai pagi hingga sore harinya.

Peperangan yang terus berlanjut hingga malam hari membuat Belanda mengakui kehilangan banyak prajurit, dan seorang sersan dinyatakan terbunuh. Sementara prajurit dengan luka berat diangkut ke armada di dekat mercusuar untuk mendapat perawatan medis.
Menyadari kondisi itu, Belanda melakukan serangan dengan kekuatan penuh yang dimulai 17 hingga 20 November. Di tengah hujan lebat yang mengguyur Pulo Breuh, terdengar jerit sakit para korban di sela suara tembakan.

Sebenarnya, dua tahun sebelumnya, Teungku Chik di Tiro juga pernah menyerang Pulo Breueh. “Pada Desember 1885, Teungku di Tiro mendarat di Kuala Cangkoi dan Pulau Beras, 40 tentara kompeni yang menjaga pos di situ tewas semuanya,” tulis Ismail Jacob.
Dalam sejumlah dokumen setelah perang, Belanda merilis pengakuan bahwa mereka tidak pernah mampu menghancurkan pertahanan pasukan Aceh secara keseluruhan. 

Bagaimanapun, setelah perang dahsyat itu, serangan demi serangan terus dilakukan pasukan Aceh sehingga pengamanan mercusuar selalu membutuhkan pasukan militer yang kuat.

Pada Maret 1888, pangkalan militer sebagai pusat penyalur batubara itu resmi ditutup. Namun fungsi pangkalan militer sebagai penjaga mercusuar tetap berlanjut sampai Belanda hengkang dari bumi Aceh.

Sementara Teungku Chik di Tiro, panglima besar Aceh itu, meninggal karena diracun pada 21 Januari 1891 dalam usia 55 tahun di Aneuk Galong. Jasadnya dikebumikan di Meureu, Indrapuri. Aceh Besar. Sepeninggal Chik di Tiro, perjuangannya diteruskan oleh pejuang lain.
***
Mayor Jenderal G.F.W Borel menyebut, pembangunan mercusuar dimulai pada 1874 ketika Belanda menyadari pentingnya menjaga keselamatan pelayaran bagi kepentingan militer mereka di jalur strategis di sekitar pertemuan Selat Malaka dengan Samudera Hindia.
Alasan lain adalah pembukaan Terusan Suez pada 1869 yang telah membuat lalu lintas maritim internasional meningkat pesat.

Disebutkan, lebih dari seribu prajurit dan bintara dari Korps Marinir dikirim ke Pulo Breuh untuk mengamankan pembangunan mercusuar itu.

Keberadaan pasukan Aceh yang terus mengintai dan kerap melakukan serangan dadakan membuat pangkalan marinir turut dibangun di Teluk Ujong Peunenung, berjarak 1.5 kilometer dari mercusuar. Sebuah pangkalan yang lebih besar juga dibangun di Luengbale, sekitar enam kilometer dari mercusuar.

Dua pangkalan militer itu juga sebagai dermaga penyalur batubara untuk seluruh wilayah Aceh.

Proses pembangunan mercusuar itu sendiri melibatkan lima orang insinyur, dan dikerjakan oleh 489 orang yang dibawa dari Ambon, serta sebanyak 698 penduduk pribumi Pulo Aceh.
Di bawah kontrol penuh angkatan laut, pembangunan yang tiada mengenal letih itu akhirnya siap pada 20 Juni 1875. Selang satu bulan, yaitu 23 Juli 1875 mercusuar itu diresmikan.

Kini, mercusuar Willem’s Toren berada di bawah pengawasan Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut - Distrik Navigasi Kelas II Sabang. Lima petugas ditempatkan menjaga mercusuar dan memastikan lampu menara itu tetap menyala.
“Kami akan diganti per dua bulan sekali,” kata Bustami, Kepala Teknisi Mercusuar yang menerima kedatangan kami hari itu. Sementara fungsi mercusuar masih dijaga dengan utuh seperti sediakala, yaitu sebagai penunjuk arah bagi kapal-kapal yang melintasi laut di kawasan itu.

Kepala Distrik Navigasi Kelas II Sabang, Abdul Rahman, yang dihubungi The Atjeh, mengatakan akan mengupayakan perbaikan mercusuar serta bangunan-bangunan penunjang lainnya di kompleks itu. “Di antara mercusuar lainnya di bawah Distrik Navigasi Kelas II Sabang, inilah yang memiliki nilai sejarah tinggi dan berumur paling tua,” kata Abdul Rahman.
***
TURUN dari mercusuar, kami menuju ke kompleks perumahan di sekitar mercusuar. Salah satu bangunannya adalah rumah tinggal perwira yang dilengkapi sebuah aula besar. Posisinya di rumah paling ujung dari mercusuar. Berbalut hutan basah yang lebat, rumah berlantai dua itu terlihat kokoh. Bentuknya  persegi empat. Dindingnya beton dengan material batu-bata berplester semen. Namun, atapnya telah ambruk.
Menuju ke bangunan itu, kami harus menapak puluhan anak tangga. Tinggi bangunan berkisar sepuluh meter dengan luas lebih dari lapangan bulu tangkis. Ia tampak hampir sempurna menyatu dengan alam; warnanya yang telah luntur ikut menyamarkan keberadaan bangunan itu di balik pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya.
Posisi ruang dansa berada persis di tengah bangunan persegi empat itu. Ia menjelma seperti aula setelah diapit dua ruang yang lebih kecil yang terdapat di sisi kiri dan dua di kanan. Begitu juga dengan terdapatnya bekas ruangan di lantai dua; maka ruang dansa tampak juga bagai lobi sebuah hotel.
Berdiri di tengah ruangan dan mendongak ke atas, tampaklah langit biru di antara celah daun. Di sana juga bertebar akar pohon kayu seukuran kaki orang dewasa yang menjalar ke mana-mana. Dengan ganas akar itu menembus pada hampir seluruh dinding bangunan dan masuk ke ruang dansa. Anak kayu dan ilalang juga berhasil masuk, lalu tumbuh hidup di dalam bangunan itu. Akibatnya, bangunan itu terlihat gelap, terasa sejuk dan terkesan angker.
Rumah jenderal itu berlantai dua. Lubang tempat menancap balok kayu sebagai alas lantai dua terlihat masih menyisakan bekas. Pada beberapa bagian bangunan juga masih terdapat sisa tangga menuju lantai dua. Selain itu, dinding bangunan juga dipenuhi lubang-lubang jendela.
Mematuhi nasihat Bustami, si lelaki penjaga kompleks, kami berjalan berhati-hati pada lantainya yang terbuat dari semen. Posisi kami saat itu berada di atas lumut tebal yang menimbun lantai. Begitupun material kayu untuk penyangga lantai  dua; semua telah lapuk dan ambruk menimpa lantai dasar. Wujudnya benar telah lapuk sehingga hanya terlihat seperti sampah hutan yang kusut. Namun pada beberapa bagian, lantai dengan semen orisinal masih dengan mudah terlihat.
“Hati-hati dengan ular.” Bustami mengulang lagi kata-kata itu. Sebuah kalimat yang telah diucap beberapa kali sejak kami memasuki bangunan itu. Tapi beruntung, kami tidak menemukan ular di sana, kami hanya menyaksikan burung-burung kecil liar yang berkicau; sambil hinggap sekejap pada dahan di atas kepala kami, lalu hilang terbang begitu saja.
Sementara mendengar cerita Bustami tentang pahit getirnya bertugas menjaga kompleks di pulau terpencil itu, kami terus berjalan menyusuri ruangan dengan perlahan. Kami melangkah ke bagian ruangan lain hingga keluar ke bagian belakang bangunan, lalu menyusur berkeliling bangunan; melangkahi pohon kayu yang tumbang dan menyibak ilalang yang tumbuh menghalangi jalan.
Keseluruhan puncak gunung yang merupakan fondasi rumah itu telah disemen. Jika saja tidak terhalang tumbuhan hutan dan ilalang, kita dapat dengan mudah berkeliling bangunan dengan menapak pada semen yang dicor melingkar itu. Terdapat tangga di dua sisi bangunan yang menjadi pintu naik-turun puncak gunung tempat bangunan itu berdiri. Deretan tangga pertama berada di muka bangunan, yaitu yang gunakan ketika pertama kali naik ke bangunan itu. Tangga satu lagi terdapat di bagian sisi kiri bangunan; mengarah turun ke bawah, ke jalan masuk kompleks mercusuar.
“Saya sudah berkali-kali pindah lokasi tugas ke sini, tapi baru kali ini masuk ke sini,” kata Bustami saat kami berdiri di tangga bangunan.
Bustami sendiri mengaku kagum dengan bangunan tua dan area sekitar lokasi itu. Tampak memang begitu indah di antara pohon yang menjulang; memunculkan kesan klasik yang kental di balik semak yang menimbun.
Di dekat tangga bagian belakang kami juga mendapati sebuah lokasi terbuka, berbentuk taman mini; menyiratkan fungsinya sebagai tempat bersantai dengan pemandangan Samudera Hindia.
Kami kembali ke muka ruang dansa. Berdiri di sana dan menatap lurus ke depan akan terhidang pemandangan menakjubkan. Dimulai dengan tampilan bangunan gedung khusus berisi mesin pembangkit listrik tenaga diesel yang masih berfungsi. Letaknya lurus di hadapan kaki tangga ruang dansa.
Selanjutnya tampak deretan bangunan persegi panjang yang terdiri dari beberapa ruangan dan merupakan rumah hunian prajurit. Kondisinya masih utuh dan kini ditempati Bustami dan empat bawahannya. Mereka adalah petugas Direktorat Jenderal Perhubungan Laut – Distrik Navigasi Kelas II Sabang yang bertugas menjaga kompleks itu.
Bangunan selanjutnya setelah rumah hunian prajurit itu adalah sederet bangunan yang difungsikan sebagai dapur umum dan kamar mandi umum. Kondisinya juga masih utuh. Setelahnya ada lagi bangunan rumah tinggal yang berlantai dua, tetapi tidak lagi beratap. Lantai duanya juga sudah ambruk. Tangga kayu yang sudah lapuk tampak masih tegak berdiri.
Masih pada arah yang lurus setelah bangunan berlantai dua itu terdapat tangga menuju fondasi bundar mercusuar. Mercusuar itulah bangunan terakhir, setelahnya hamparan laut luas membentang.
Alasan keberadaan bangunan-bangunan lain di kompleks itu sebenarnya adalah sebagai fasilitas penunjang mercusuar Willem’s Toren yang merupakan bangunan inti di kompleks itu.
***
BERBEDA dengan kondisi mercusuar yang masih berfungsi, pangkalan marinir di Teluk Ujong Peuneung sudah hancur sama sekali. Tsunami 2004 yang melanda kawasan itu membuat dermaga rusak total dan hanya meninggalkan bongkahan fondasi. Terletak 1,5 kilometer dari mercusuar, di sepanjang jalan menuju ke sana terdapat minimal dua pos jaga tentara Belanda. Pos itu mirip seperti yang terdapat di pintu masuk Kodam, Kodim, atau instansi militer lainnya di Indonesia.

Beberapa meter dari pantai, sepetak lantai hampir seukuran bus masih utuh menjulang dari permukaan air; seperti menyatakan diri sebagai bukti sejarah bahwa teluk itu pernah ramai disinggahi kapal besar di masa lalu. Sepotong besi yang mirip tempat mengikat tali kapal juga masih tertancap pada lantai itu, juga tiram, sejenis kerang yang hidup menempel pada karang.
Runtuhnya pangkalan marinir itu sebenarnya telah turut membenam beberapa meriam ke dasar teluk. Pada 2012 beberapa warga berusaha menyelam dan berhasil menemukan meriam. Meriam diseret dengan tali dari dasar teluk sebelum dimuat ke dalam perahu.
Pangkalan marinir di Teluk Ujong Peunung itu sekarang kosong melompong. Kawanan burung dan monyet liar bermain ria di sekitar itu. Seperti sangat jarang melihat manusia, para monyet sangat ribut begitu kami tiba. Sebuah sumur tua bercincin tebal dengan bundar permukaan sekitar lima kali sumur biasa juga terlihat masih utuh. Posisinya sekitar 20 meter di bibir teluk. Air di dalamnya jernih dengan rasa tawar.

***
PERJALANAN ke kompleks bangunan tua mercusuar dan ke dermaga itu sebenarnya tak begitu mulus. Ada tantangan tersendiri yang harus dilewati. Jangan harap ada kapal mewah khusus penumpang atau barang yang melayani rute pulau itu. Yang tersedia hanya perahu ikan yang telah dialihfungsikan sebagai pengangkut penumpang dan barang. Itulah alat transportasi vital yang digunakan masyarakat Pulo Aceh sejak zaman dahulu.

Dari Banda Aceh kita dapat mencari dermaga singgah perahu Pulo Aceh di Lampulo, Peunayong. Umumnya warga Pulo Aceh menjadikan Lampulo sebagai tempat mereka berlabuh. Sekitar pukul delapan pagi, perahu yang disesaki penumpang dari Pulo Aceh biasanya tiba di Lampulo. Para warga yang umumnya pergi ke Banda Aceh untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga dan barang dagangan akan kembali berkumpul di dermaga itu pada siang harinya. Karena sekitar pukul dua  siang perahu itu akan kembali bergerak pulang ke pulau.

Terdapat dua titik ‘pelabuhan’ perahu Pulo Aceh di Lampulo. Titik pertama berada persis di belakang Masjid Lampulo, sebuah masjid berkubah hijau yang terletak di tepi Krueng Aceh. Titik pelabuhan yang kedua berada dekat dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang juga di tepi Krueng Aceh itu.

Harga ‘tiket’ perjalanan ke Pulo Aceh (per Desember 2013) adalah 20 ribu untuk satu orang penumpang. Harga yang sama juga  dikenakan untuk setiap satu sepeda motor. Khusus untuk motor akan dikenakan ongkos bongkar-muat sebesar 30 ribu. Jadi totalnya 50 ribu untuk satu sepeda motor.

Di mana perahu akan berlabuh di Pulo Aceh? Perahu akan berlabuh di desa masing-masing. Namun yang menjadi sentral pelabuhan untuk kawasan Pulo Breuh adalah Dermaga Gugop. Dari Gugop kita dapat memasuki desa-desa lain yang terdapat di sepanjang Pulo Breuh. Namun itu hanya untuk Pulo Breuh saja. Untuk Pulo Nasi akan lain lagi lokasinya.

Untuk memastikan tidak salah ‘pilih rute’, sebaiknya ketika akan menaiki perahu di Lampulo, tanyakan dulu kepada pawang perahu, “Perahu desa mana ini, akan berlabuh di mana?”
Khusus untuk mencapai lokasi mercusuar, perjalanan bisa dimulai dari Banda Aceh menuju Meulingge, desa terakhir di ujung Pulo Breuh yang berbatas langsung dengan hutan itu. Waktu tempuh berkisar 2 jam.

Dari Desa Meulingge perjalanan selanjutnya mesti ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 4 kilometer. Menerobos medan licin yang menanjak, menuruni turunan yang terjal di antara lebat hutan yang terdapat di sepanjang kiri dan kanan jalan.

Sumber: Atjeh Post

Jejak Chik di Tiro di Willem Toren Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment