KELUARGA Tiro dikenal sebagai keluarga pahlawan. Hal ini sudah terbukti sejak buyut mereka, Muhammad Saman, hingga lelaki yang kesembilan, Muhammad Hasan Di Tiro.
Selain itu, para lelaki dari keluarga ini secara turun temurun dianggap sebagai “wali” bangsa Aceh. Hasan Tiro sendiri merupakan wali yang kesembilan. Hasan Tiro juga terkenal sebagai seorang penulis. Beberapa buku dan makalahnya bahkan jadi rujukan sejumlah penulis dan peneliti lainnya, terutama yang hendak berkisah tentang Aceh, sebuah wilayah kecil di ujung Pulau Sumatera.
Sebuah buku fenomenalnya bertajuk The Price of Freedom, The Unfinished Diary of Teungku Hasan Tiro. Buku ini pula banyak dikutip para penulis dalam Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh. Buku yang ditulis oleh 144 orang ini mencoba memandang Hasan Tiro dari berbagai sudut.
Banyaknya jumlah penulis dalam buku ini tentu saja membuat beragam pula bentuk tulisan yang disajikan. Ada yang menulis dalam bentuk reportase bergaya jurnalistik, ada yang menulis dalam bentuk opini, ada pula serupa esai seakan surat yang hendak ditujukan kepada pengikut Hasan Tiro.
Beragamnya bentuk dan jenis tulisan di sini, tentunya menuntut kelihaian penyunting. Untuk beberapa kata, terutama kata yang sering diulang-ulang oleh para penulis, hendaknya diseragamkan oleh penyunting. Hal ini bertujuan sebagai konsistensi tulisan. Misalnya, untuk penyebutan nama sapaan Hasan Tiro: ada yang menggunakan sapaan “Hasan” seperti pada tulisan Nezar Patria, ada pula menggunakan “Tiro” seperti digunakan beberapa penulis lainnya di buku tersebut.
Penting pula mengamati tata letak/desain isi buku. Pada tulisan Affan Ramli “Logika Tiroisme” bagian akhir, tata letak puisi yang dilampirkan Affan sangat tidak ‘indah’ dipandang dari segi posisi. Pasalnya, puisi yang ditulis empat baris sebait, satu baris terakhir pada bait kedua, dapat dianggap terputus. Tiba baris terletak pada halaman 25, satu baris pada halaman 26. Hal ini tidak indah dari sisi tata letak dan logikan ilmiah penulisan. Hendaknya disisakan dua baris pada halaman berikutnya, bukan satu baris, atau dipadatkan langsung satu bait keseluruhan pada halaman yang sama sehingga tidak terkesan tertinggal atau terpenggal.
Terlepas dari hasil suntingan dan tata letak, apa yang terungkap pada buku yang disunting oleh Husaini Nurdin ini dapat dianggap sebagai cermin masyarakat Aceh, terutama para penulis, dalam memandang sosok Hasan Tiro, baik sebagai sang Wali maupun sebagai pejuang.
Selain itu, buku ini juga diisi oleh beberapa penulis luar Aceh, bahkan penulis luar negeri, seperti Lilianne Fan. Bagaimana mereka memandang sosok Hasan Tiro dan perjuangannya yang rela meninggalkan seorang Dora cantik jelita dan Karim gagah si tampan rupa, terlukis dengan apik pada buku terbitan Banda Publishing ini. Tak salah jika kita sebutkan bahwa membaca buku ini, kita seperti melihat kembali sosok Hasan Tiro, sang wali yang kini telah pergi. Kisahnya tak pernah usang dimakan masa, tak lekang ditelan waktu. Secara nyata ia sudah tiada, tetapi tetap hidup dan ada di hati masyarakat Aceh, bahkan di hati para pejuang yang kini telah mengambil jalan pintas dari jalan dan janji semula.[herman]
Judul Buku: Hasan Tiro, The Unfinished Story of Aceh | Penulis: Aboeprijadi Santoso, dkk. | Penyunting: Husaini Nurdin | Penerbit : Bandar Publishing |Tebal Buku: 308 halaman – 14×20 cm | Cetakan: I, Juli 2010
0 comments:
Post a Comment